Dilema Subsidi, Inflasi, dan Daya Beli

by - 8/31/2022 06:08:00 PM

Pandemi telah berlalu, namun bukan berarti risiko dan tantangan ekonomi menjadi lebih mudah. Tensi geopolitik yang masih panas antara Rusia dan Ukrania membuat efek domino bagi sendi ekonomi global. Baru-baru ini yang menjadi perbincangan hangat yaitu tingginya angka inflasi di banyak negara anggota G-20. Turki menjadi negara tertinggi angka inflasinya yaitu 78,62%, menyusul di posisi kedua yaitu Argentina 64%, Brazil 11,89%, Inggris 9,4%, dan Amerika Serikat 9,1%.

Angka Inflasi Negara G-20, sumber : CNBC
Laju inflasi Indonesia secara tahunan pada bulan Juni 2022 menyentuh angka 4,35%, lebih rendah dibanding kebanyakan negara G-20 lainnya. Indonesia hanya kalah dari China (2,5%), Jepang (2,4%), dan Arab Saudi (2,3%). Ini bukanlah prestasi yang patut dibanggakan, melainkan sebuah peringatan bahaya jika laju inflasi tidak dapat ditekan. Mengingat Ekonomi Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi negara maju. Tantangan lain yaitu kenaikan harga minyak dunia yang sangat berpotensi menjadi bobot pemberat dalam inflasi.

Subsidi sebagai pengendali inflasi

Angka Inflasi di Indonesia bisa saja melesat naik jika tidak didukung oleh subsidi dan kompenasi energi. Alokasi tahun ini bahkan mencapai Rp 502,4 triliun, naik 166,8% dari alokasi tahun lalu yang hanya Rp 152,1 triliun. Dari angka tersebut, 149,4 triliun diperuntukan subsidi BBM dan LPG.

Subsidi BBM dan LPG merupakan salah satu instrumen penting dalam pengendalian inflasi. Karena dua energi tersebut merupakan akar dari harga barang-barang kebutuhan pokok yang diperjual belikan. Tantangan terberat yaitu jika terus terjadinya kenaikan harga minyak di pasar global. 

Hal itulah yang membuat pemerintah saat ini dilema. Jika subsidi BBM dan LPG dikurangi maka menyebabkan inflasi dan daya beli masyarakat menurun, namun jika subsidi BBM dan LPG terus dibiarkan seperti ini maka akan membuat alokasi dana subsidi diproyeksikan akan membengkak.

Skema pemberian subsidi yang tepat sasaran bisa menjadi opsi terbaik. Subsidi BBM dan LPG hanya diperuntukkan oleh masyarakat miskin dan menengah. Namun tentunya harus didukung oleh sistem yang baik. Harus ada solusi bagaimana cara memonitoring dan mengawasi pemberian subsidi yang tepat sasaran, sementara masih banyak masyarakat yang tergolong kaya yang menyalahgunakan subsidi tersebut.

Daya beli rendah,  kenaikan upah minim

Pada kuartal II tahun 2022 Ekonomi Indonesia tumbuh 5,44% secara tahunan. Salah satu sektor yang turut memberikan kontribusi adalah konsumsi rumah tangga. Ekonomi Indonesia masih dalam tahap pemulihan pasca pandemi, angka pertumbuhan ekonomi tersebut turut ditopang oleh dana PEN berupa pemberian bantuan sosial. Hal ini mengakibatkan daya beli masyarakat masih terjaga.

Namun dengan kondisi Inflasi yang kian meningkat dapat berpengaruh terhadap turunnya daya beli masyarakat. Kondisi ekonomi dikatakan bergairah jika masyarakatnya mempunyai daya beli. Lalu bagaimana menjaga daya beli masyarakat tetap stabil di tengah angka inflasi yang naik? Salah satu solusinya adalah dibarengi dengan kenaikan upah minimun. 

Namun sayangnya angka kenaikan upah di tiap provinsi masih sangat minim. Menurut Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) rerata kenaikan UMP periode 2022 sebesar 1,09%. Angka yang tidak sebanding dengan angka inflasi saat ini.

Pemerintah diharapkan dapat mengeluarkan terobosan baru untuk menjaga daya beli masyarakat setelah kenaikan harga BBM dan LPG. Jangan sampai bantuan sosial hanya sebagai shock absorber saja yang terus-menerus dilakukan.  

Tabik...

*Opini pribadi, tidak mewakili tempat berkerja. Salam takzim.

You May Also Like

0 komentar