Gunung Papandayan, Ramah Bagi Pemula (Pengalaman Pertama Naik Gunung)

by - 3/25/2020 09:05:00 PM

Pada tulisan kali ini, sobat akan dibawa ke sebuah nostalgia pendakian pertama penulis yang jenaka, seru, dan memorable. Penulis ikut mencoba mendaki gunung setelah diajak seorang teman bernama Dicky (orang yang sama saat perjalanan aceh).

 Dicky berhasil mengumpulkan 12 orang untuk mendaki bersama ke Papandayan, tujuh orang laki-laki dan lima orang perempuan.Sebagai ketua tim, Dicky juga lah yang berperan aktif dalam menyusun semua kesiapan tim, seperti transportasi, peralatan tim, dan briefing anggota tim yang tergolong pemula seperti penulis.

Persiapan Pendakian

Karena baru pertama kali naik gunung, Penulis belum punya peralatan sama sekali. Penulis ditemani oleh Bang Zein (teman kantor) untuk membeli peralatan mendaki gunung di Adventurer Shop Rawamangun. Saat itulah pertama kali penulis masuk ke toko peralatan mendaki gunung. Terpajang tas-tas carrier bermacam-macam warna, berbagai merk, beraneka bentuk, dan beberapa jenis di lantai satu.

Pilihan penulis jatuh ke Consina Mount Baldy 60 L, alasan utama memilihnya karena penulis tertarik dengan warna birunya. Padahal memilih carrier bukan hanya karena warna saja, hahaha. Tas carrier itulah yang nantinya menemani penulis saat perjalanan-perjalanan selanjutnya. 

Atas saran Bang Zein, Penulis membeli sandal gunung dan menunda terlebih dahulu membeli sepatu gunung. "Ke Papandayan cukup pakai sandal dulu, nanti kalau ketagihan naik gunung baru beli sepatu" Kata Bang Zein. Kedua-duanya berfungsi sama yaitu untuk melindungi kaki dari bahaya saat melangkah di trek gunung. Naik ke lantai dua toko, Penulis membeli jaket polar, sleeping bag, sarung tangan, matras, dll.

Jika sobat ingin mendaki gunung dan belum mempunyai peralatan, Sobat tidak harus beli kok, saat ini sudah banyak tersedia tempat sewa alat gunung. Pinjam peralatan teman juga boleh jika hanya sesekali melakukan pendakian.

Mungkin penjelasan lengkapnya akan diulas di postingan lain. Yang paling penting dalam memilih peralatan gunung yaitu memilihnya karena nyaman sesuai fungsi alat tersebut dan sesuai kemampuan kita dalam budget. Karena yang mahal belum tentu membuat nyaman.

"Peralatan memang sangat penting, tetapi jangan lupakan kesiapan fisik yang harus dijaga" ujar Bang Zein. Sebuah pesan yang penulis ingat saat itu, meskipun Gunung Papandayan terkenal ramah bagi pendaki pemula, penulis mempersiapkannya dengan latihan lari sejauh 5 KM secara rutin tiga kali dalam seminggu. 
 
Terdengar berlebihan? tidak juga, karena pendakian ini adalah yang pertama bagi penulis, jadi harus disiapkan matang-matang. Rutin berolahraga seperti lari sangat penting untuk menjaga fisik tetap prima.

Perjalanan menuju Kota Garut dimulai pada jumat malam tanggal 16 Februai 2017,  dengan titik kumpul di sebuah halte bus Jakarta Timur. Penulis baru kenal beberapa orang saja di tim pendakian ini, pelajaran pertama yang penulis dapatkan dalam traveling adalah mengenal dan berteman dengan lebih banyak orang. Setelah lengkap dua belas, kami pun memesan taksi online menuju Terminal  Cililitan.

Perjalanan Ke Garut dan Tiba di Basecamp Pendakian
 
Kami memesan tiket bus primajasa dengan tarif seharga Rp.52.000, perjalanan menuju Garut selama 10 jam. Waktu yang lama, penulis tidak terlalu lelap tertidur. Mungkin karena gema pikiran yang terlalu antusias dengan pendakian pertama ini. Maklum, ini kali pertama penulis berperjalanan jauh semenjak tinggal sementara di Jakarta.

Tiba di Terminal Garut pada Sabtu pagi pukul 5.00 WIB, penulis disambut dinginnya suhu udara. Setelah melaksanakan Salat Subuh, kami pun sarapan bersama di warung dekat terminal. Nasi uduk dan teh hangat masuk ke dalam perut guna memperkuat energi penulis untuk mendaki.
Dicky pun memesan satu angkot untuk mengangkut kami dan satu mobil pick up untuk mengangkut carrier. Lalu dengan bersempit-sempitan 12 orang masuk ke dalam mobil menuju basecamp pendakian. Setelah tiba, Dicky terlihat sibuk mengurus tiket masuk. Kami pun menyempatkan berfoto bersama sebelum mendaki. Tidak lupa memanjatkan doa kepada tuhan yang maha esa guna perlindungan dan keselamatan dalam pendakian.

Mulai Mendaki,  Belajar Mendirikan Tenda
Pada trek awal pendakian, penulis melewati jalan batu-batu berukuran sedang hingga besar.  Bau belerang cukup menyengat, sehingga perlu memakai masker atau buff untuk mengurangi dampak bau nya. Di gunung Papandayan terdapat beberapa warung yang dapat dijumpai di pinggir jalan pendakian. Mereka menyediakan air mineral, gorengan, hingga cemilan ringan loh.

Setelah dua jam berjalan, penulis tiba di Pondok Saladah. Tempat mendirikan tenda yang luas di Gunung Papandayan. Saat kami tiba, sudah banyak tenda-tenda yang telah berdiri di sini. Sehingga membuat kami cukup kesulitan memutuskan area yang akan dijadikan tempat mendirikan tenda.

Terpilihlah lokasi yang berada di  bawah pohon dan di dekatnya ada semak-semak. Ini lah yang akan menjadi topik jenaka yang akan terkenang. Tapi santai dulu, kita belum sampai ke topik yang itu. Di Pondok Saladah juga terdapat warung dan toilet loh.

Kami pun mendirikan tiga buah tenda, satu tenda untuk lima orang perempuan dan dua tenda untuk tujuh orang laki-laki. Kok enak ya laki-laki dengan jumlah tujuh orang tapi tidur di dua tenda? Eh, tenda laki-laki digunakan juga untuk menyimpan carrier-carrier anggota tim. Tenda laki-laki ukurannya cuman muat empat orang untuk satu tenda. Sedangkan tenda perempuan cukup besar muat hingga enam orang. Adil kok hahaha.

Pelajaran lain yang penulis dapatkan saat pendakian ini adalah cara mendirikan tenda gunung hahaha. Penulis agak kesulitan mengerti cara mendirikan tenda gunung, cara menyusun terpalnya, memasukkan tiang rangkanya, tali menali, bahkan menancapkan patok :D.

Setelah tenda berdiri, kami pun memasak sarden, menggoreng nugget, memasak mie dan menanak nasi. Dengan lahapnya kami makan siang dan mengisi perut yang sudah keroncongan.

Tegal Alun yang Menawan, Kebun Edelweiss yang Luas

Waktu masih menunjukkan pukul empat sore, Dicky pun mengajak kami semua menuju tegal alun yang terkenal dengan ladang edelweissnya. Perjalanan menuju ke sana kurang lebih satu jam dari Pondok Saladah. Kami pun sempat salah jalan, namun untungnya Dicky berhasil menemukan jalan yang benar.
edelweiss di tegal alun papandayan
Amazing ! Penulis memandang betapa indahnya ladang edelweiss yang saat itu sedang mekar bunga-bunganya. Aih saking indahnya, penulis bingung menjelaskan kata-kata selanjutnya. Pokoknya indah banget sob. Gunung Papandayan memang terkenal dengan Padang Edelweiss yang luas bernama Tegal Alun.  Penulis katakan ini adalah Mahkotanya Papandayan.
Bunga Edelweiss hanya dapat tumbuh di daerah pegunungan dengan tinggi tertentu saja. Jangan dipetik bunganya, karena susah tumbuh lagi jika sudah dipetik. Cukup bawa kenangan dan foto yang memorable saja, jangan merusak keanggunan kebun alami ini.

Kembali ke Tenda, Eh Sudah Diobrak-abrik Babi 

Waktu sudah menunjukkan pukul 17.30 WIB, kami bergegas menuju pondok saladah lagi. Karena sudah mulai gelap, kami lagi-lagi salah arah di dekat hutan mati. Kami pun menghidupkan lampu senter SOS pertanda butuh bantuan, lalu datanglah pendaki lain yang menuntun kami kembali ke jalan yang benar.

Tiba di tenda kami pun terkejut, makanan-makanan berserakan dan berantakan. Datanglah pendaki lain menghampiri kami, "Makanya kalau habis makan, sisanya diletakkan di atas pohon jangan ditaruh di tanah" ujar salah satu pendaki. Memang kesalahan kami yang cukup fatal, dua jam sebelumnya senyum merekah karena melihat keindahan edelweiss namun saat ini murung karena tenda diobrak-abrik babi.
Syukurnya masih banyak makanan yang tidak tersentuh babi. lalu kami memisahkan makanan yang sudah tidak layak dimakan. Tak lupa kami meletakkannya ke atas pohon sesuai intruksi dari pendaki yang tadi menghampiri kami.

Setelah memasak makan malam dan menyantapnya, penulis pun mencoba tertidur. Lalu, terdengar suara aneh yang berada di sekitar tenda. Rupanya babi lagi ! letak tenda kami yang berada di dekat semak-semak menjadi faktornya. Kami pun terbangun semua, lalu memasang lampu senter yang menyorot ke arah semak-semak itu, mencoba menakuti babi agar tidak datang lagi. Arghhhh, babinya benar-benar menganggu tidur malam itu.

Baru mencoba tertidur lagi, ada bau yang menyengat di dalam tenda ! dengan kocaknya tidak ada yang mau mengaku bahkan saling tuduh satu sama lain dengan bercanda Haha. Setelah cobaan itu terlewati penulis pun berhasil tidur dan terbangun pukul 4.00 WIB keesokan paginya.

Sunrise di Hutan Mati,  Untuk Perempuan yang Sedang Dalam Pelukan

eeh jangan terlalu serius sama subjudulnya, hanya judul lagu doang kok. Hanya ada sedikit bintang malam ini, Mungkin karena kau sedang cantik-cantiknya. Lagu itu yang menjadi pengiring langkah kaki kami menuju hutan mati, sebuah karya dari Payung Teduh berjudul "Untuk Perempuan yang Sedang Dalam Pelukan" yang sedang hits saat itu.

Pertama kalinya merasakan suhu udara yang dingin di gunung, penulis berjalan sambil melipat kedua tangan di atas perut. Mungkin sebuah refleks alamiah penulis guna mengurangi rasa dingin itu. Tibalah penulis di hutan mati, langit mulai berwarna jingga di sebelah timur. Lautan awan putih turut serta ikut meramaikan pertunjukan yang menawan kala itu.
matahari terbit di papandayan
Sungguh, pengalaman yang tidak terlupakan. Setelah menyimak matahari terbit, kami pun berfoto sambil melompat dengan mode backlight.

Kami pun kembali ke tenda untuk sarapan. Setelah itu berkemas dan kembali turun ke bawah. Beruntungnya pendakian saat itu adalah cuaca yang bersahabat sepanjang pendakian. Barulah ketika kami berada di mobil saat menuju terminal hujan turun cukup lebat. Perjalanan usai, penulis tiba di Jakarta dengan selamat dan kembali beraktifitas harian.

Terima kasih 12 anggota tim pendakian papandayan. Kalian luar biasa, semoga selalu sehat di tengah ancaman virus Covid-19 ini. Salam dari Kang Vila hehehe.

  

You May Also Like

0 komentar