Solo Traveling ke Wae Rebo (Overland Flores Part 6)

by - 4/20/2020 05:48:00 PM

desa wae rebo flores
Halo sobat pembaca, tibalah ke bagian enam cerita perjalanan overland Flores. Setelah pada bagian sebelumnya penulis bercerita tentang Ruteng (Melihat Uniknya Sawah Jaring Laba-laba). Penulis kali ini akan melanjutkan cerita di Wae Rebo, salah satu desa tersembunyi di Flores.

Cara menuju Wae Rebo dari Kota Ruteng

1. Menyewa sepeda motor
Cara pertama dan cukup praktis adalah menyewa sepeda motor. Sobat bisa menyewa sepeda motor dari kota Ruteng, salah satu tempat untuk menyewa motor adalah di Hotel Rima Ruteng (tempat penulis menginap di Ruteng).

Setelah itu Sobat bisa memanfaatkan Google Maps. Sinyal di perjalanan terkadang hilang di beberapa titik, jadi disarankan untuk mengunduh maps offline terlebih dahulu sebelum berangkat.  Jika sobat mengendarai motor harus hati-hati karena beberapa titik jalan rusak dan berlubang.  Pastikan kondisi fisik motor yang sobat sewa dalam keadaan prima. Cek kembali kondisi ban, rem tangan dan kaki, klakson, dll.

Lalu lama perjalanan selama tiga jam akan membuat kondisi fisik badan sobat terkuras, jika lelah berhentilah sebentar dan mengambil waktu untuk beristirahat.

2. Menaiki Angkutan Umum Oto Kayu atau Otokol
Ini merupakan cara yang penulis gunakan untuk pergi menuju Wae Rebo, Otokol merupakan angkutan umum berupa truk yang dimodifikasi. Tempat Bak diganti menjadi tempat duduk untuk penumpang.

Lokasi naik Otokol dari Terminal Mena di Ruteng, pilihlah jurusan otokol menuju Desa Denge yang merupakan desa terakhir sebelum treking ke Wae Rebo. Namun saat penulis datang ke sana, otokol yang menuju Desa Denge tidak beroperasi. Akhirnya penulis menaiki otokol menuju Desa Dintor, lokasinya berdekatan dengan Desa Denge.

Setelah tiba di Desa Dintor, penulis menggunakan jasa ojek motor menuju Rumah Bapak Blasius Mona. Tukang ojek di Dintor kebanyakan sudah tau rumah beliau, karena namanya terkenal seantero Dintor dan Denge. 

Selain itu, Rumah Bapak Blasius Monta sudah terkenal di kalangan Backpacker, sebelum berangkat ke Flores penulis sempat meminta petunjuk dan saran kepada teman yang sudah pernah ke sini sebelumnya. Mereka bilang "Nanti kalau sudah di Desa  Denge, langsung saja patokannya ke rumah Bapak Blasius Monta".

Setelah tiba di Rumah Bapak Blasius Monta, sobat bisa menyewa guide untuk menemani treking ke Desa Wae Rebo selama tiga jam berjalan kaki. Berikut cerita lengkap penulis selama perjalanan di Wae Rebo.

Cerita Perjalalanan Penulis 
otokol di terminal mena flores
Pagi hari yang cerah pada tanggal 5 Februari 2019, penulis sudah tiba di Terminal Mena Ruteng. Suasana terminal cukup ramai kala itu, penulis mengobrol dengan beberapa warga yang ingin menumpangi Otokol, sama seperti penulis.

Otokol menjadi angkutan umum yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Manggarai Flores untuk berpergian jarak jauh ke Pedesaan. Alasan penulis memilih naik Otokol dibanding menyewa motor adalah untuk merasakan dan membaur bersama warga lokal.

Sebenarnya penulis tidak terlalu kaget dengan penampakan angkutan ini, karena saat masih kecil penulis pernah merasakan naik kendaraan serupa di kampung halaman, Sumatera. Tetapi ukurannya lebih kecil, bukan menggunakan mobil truk melainkan Mobil Carry Pick Up yang diberi tempat duduk. Masyarakat di kampung menyebutnya dengan Mobil Taksi atau Mobil Keranjang.

Otokol menuju Desa Denge tidak beroperasi pagi itu, dengan saran dari warga sekitar penulis menaiki Otokol menuju Desa Dintor. Lokasi kedua desa tersebut berdekatan, jadi saat tiba di Dintor penulis tinggal naik ojek saja. Penulis berangkat pada pukul 10.00 WITA dari Terminal Mena, perjalanan di tempuh selama kurang lebih empat jam.
pemandangan menuju desa wae rebo dengan otokol
Sepanjang perjalananan penulis memandangi sawah dan pepohonan yang hijau. Selang beberapa waktu kemudian penulis melihat hamparan air laut di pinggir jalan, pertanda bahwa sebentar lagi akan tiba di Desa Dintor.
pemandangan laut flores saat menuju wae rebo
Penulis tiba di Desa Dintor pada pukul 14.00 WITA, diturunkan di lokasi pangkalan ojek. Penulis naik ojek ke Rumah Bapak Blasius Monta di Desa Denge dengan waktu tempuh sekitar 20 menit, tarifnya Rp 20.000 saat itu.

Tiba di Rumah Bapak Blasius Monta

rumah bapak blasius monta di desa denge
Betapa terkejutnya penulis ketika tiba di Rumah Bapak Blasius, penulis menjumpai Faliq. Teman perjalanan yang berpisah saat di Ende. Penulis agak kikuk, antara mau menegur atau tidak. Rupanya dia sendiri yang duluan menyapa penulis, mengajak salaman. Salaman yang melunturkan perasaan egoisme dan keras kepala, salaman yang mendamaikan kami berdua setelah terlibat insiden beberapa hari yang lalu di Ende.

Tidak hanya berjumpa dengan Faliq, penulis berkenalan dengan tiga orang turis luar negeri. Karena sudah lapar selama perjalanan jauh, penulis pun makan siang sebentar sambil mengobrol dengan Faliq. Rupanya dia datang tidak lama sebelum penulis, sekitar setengah jam yang lalu dengan berkendara motor. Dia meminjam sepeda motor milik temannya yang bekerja di Kantor Pajak Ruteng.

Setelah makan siang, penulis bersama Faliq dan tiga orang turis pergi treking menuju Wae Rebo. Kami berlima sepakat untuk menyewa seorang guide untuk menemani. Alasannya karena kami berangkat sudah terlalu siang menjelang sore, kemungkinan tiba di Wae Rebo langit sudah gelap, khawatir tersesat ! Biaya ntuk menyewa guide adalah Rp 40.000/orang, nama guide kami saat itu adalah Alo, anak kecil berusia sekitar 12 tahun.

Penulis pun berjalan melewati jalan aspal yang menanjak hingga sampai di Pos 1. Pos 1 berupa perbatasan antara jalan aspal dan tanah, lalu setelah itu dimulailah trekking di jalan setapak. Di dekat pos 1 ada sebuah jembatan yang dibawahnya mengalir sungai kecil yang tidak terlalu deras.
treking ke wae rebo
Treking menuju Wae Rebo tidak terlalu berat medannya, jalan setapaknya tidak terlalu banyak cabang. Penulis melewati hutan yang cukup rimbun hingga tiba di sebuah tempat dengan pemandangan yang terbuka, bisa dibilang ini merupakan pos 2.

Langit mulai gelap, penulis mempercepat langkah dan tiba di sebuah pondok bernama Rumah Kasih Ibu. Di pondok tersebut terdapat sebuah petunjuk berupa poster, tertera tidak boleh memfoto apapun sebelum selesai prosesi adat penyambutan tamu.

Lalu terdapat petunjuk untuk membunyikan kentongan sebagai tanda bagi warga Wae Rebo bahwa mereka kedatangan tamu yang datang ke wilayah mereka. Peraturan itu harus dipatuhi, jangan pernah mencoba melanggar aturan yang telah dibuat. Apalagi kita hanya sebagai seorang tamu :).

Upacara Adat dan Menginap di Wae Rebo

upacara penyambutan tamu di wae rebo
Setelah selesai menyembunyikan kentongan, penulis pun berjalan menuju ke halaman Desa Wae Rebo, lalu disambut oleh warga dan diantar menuju rumah bernama Mbaru Niang yang merupakan rumah Tetua Adat. Penulis pun memulai prosesi upacara penyambutan tamu.

Bahasa yang digunakan dalam upacara adat menggunakan bahasa setempat, jadi penulis tidak paham sama sekali. Penulis hanya duduk bersila dan diam memperhatikan saja. Setelah selesai upacara adat, penulis pun membayar biaya menginap sebesar Rp 325.000 per orang.

Penulis diberikan bantal dan selmut, lalu tidurnya beralaskan tikar yang dibentangkan. Penulis tidur di sebuah rumah khusus untuk tamu, jadi tidak gabung dengan penduduk asli Wae Rebo. Oh ya, biaya tadi sudah termasuk makan malam dan makan pagi. Tersedia juga kamar mandi dan toilet yang sudah modern dan bisa digunakan oleh wisatawan.

Pada malam hari, sekitar pukul sembilan malam penulis keluar rumah dan melihat kondisi langit. Rupanya hanya sedikit bintang malam itu, Milky Way tidak terlihat karena ditutupi kabut. Penulis lantas kembali ke rumah dan tertidur pulas.

Suasana Pagi di Wae Rebo
sunrise di wae rebo
Penulis terbangun sekitar pukul lima pagi, lalu pergi ke kamar mandi untuk cuci muka. Setelah itu penulis mencari spot untuk memotret sunrise di Wae Rebo. Sunrise yang sangat indah, warna jingga menghiasi langit di ujung sana.

Sekitar pukul enam, teman-teman yang lain baru bangun dan keluar dari rumah. Beberapa penduduk kampung juga sudah mulai bersiap beraktivitas. Penulis bermain-main dengan anak-anak Desa Wae Rebo, mereka terus menagih permen kepada penulis. Tetapi penulis tidak membawa makanan ringan dan permen apapun ke sini.
pemandangan desa wae rebo
Penulis lantas mencari spot terbaik untuk memotret landscape rumah Wae Rebo dengan latar perbukitan dan senandung awan yang menggelayut. Sungguh indah sekali pagi itu, negeri di atas awan yang tersembunyi di balik bukit. 
anak anak desa wae rebo
Perhatian penulis tertuju ke seorang Bapak yang sedang menimang bayi dan dikelilingi oleh anak-anak kecil. Mereka menyanyikan lagu anak-anak seperti Pelangi-pelangi, Kasih Ibu Kepada Beta, dan Balonku. Penulis tersenyum takzim dan ikut bernanyi bersama, berbaur dan gembira bersama mereka.

Tak berselang lama, penulis dipanggil untuk sarapan pagi pukul delapan pagi, setelah itu penulis pun bersiap-siap mengemasi semua barang dan pergi turun kembali ke Desa Denge. Penulis membawa pengalaman dan cerita yang sangat indah untuk dikenang. Penulis tiba kembali di rumah Bapak Blasius Monta pukul sebela siang.

Perjalanan menuju Labuan Bajo
Penulis berpikir rancangan perjalanan ke depan, Faliq pun mengajak penulis untuk ikut dengannya menuju Kota Ruteng kembali. Tetapi rasa-rasanya terlalu memakan waktu lama jika harus kembali ke Ruteng, karena tujuan penulis berikutnya adalah menuju Labuan Bajo.

Opsi lainnya adalah menuju Labuan Bajo lewat jalur selatan, setelah tiba di daerah Lembor dapat mencari mobil travel atau bus di daerah Lembor. Semesta mengaminkan opsi ini, setelah bertanya rupanya keluarga Bapak Blasius Monta ada yang mau mengantar penulis menuju Lembor menggunakan sepeda motor. Tarif yang diberikan saat itu Rp.150.000, tidak apa-apa biayanya lebih mahal yang penting menghemat waktu perjalanan.

pulau mules flores
Perjalanan menyusuri jalur selatan pun dimulai, tetapi penulis berhenti sebentar untuk memotret pemandangan sebuah pulau bernama Pulau Mules. View yang sangat indah sob !
jembatan rusak di jalur selatan menuju wae rebo
Penulis melewati jalan aspal, namun terdapat lubang di beberapa titik. Hingga tibalah penulis di sebuah jembatan yang rusak dan baru diperbaiki. Penulis pun harus turun sebentar dari motor dan berjalan hingga tiba di jalan aspal kembali.

Namun setelah melewati itu, jalan menuju Lembor normal dan kondisinya cukup baik. Penulis tiba di pinggir jalan raya Trans Flores di Lembor sekitar pukul 14.00 WITA. Lalu dari sana penulis menunggu mobil travel atau bus menuju Labuan Bajo. Tidak lama menunggu, berhentilah sebuah mobil travel innova putih yang menuju Labuan Bajo. 

Biaya mobil travel saat itu adalah Rp 50.000 saja, penulis tiba pukul 15.30 WITA dan meminta langsung diantar ke Ciao Hostel Labuan Bajo. Cerita perjalanan di Labuan Bajo dapat dibaca pada postingan "Sailing komodo hanya satu hari", semoga bermanfaat :).

Pengeluaran penulis selama perjalanan Wae Rebo :
1. Biaya Otokol dari Terminal Mena ke Desa Dintor : Rp 30.000
2. Biaya ojek dari Desa Dintor ke Rumah Bapak Blasius Monta : Rp 20.000
3. Biaya guide ke Wae Rebo : Rp 40.000
4. Biaya menginap satu malam di Wae Rebo : Rp 325.000
5. Biaya diantar menuju Lembor : Rp 150.000
6. Biaya travel menuju Labuan Bajo : Rp 50.000

You May Also Like

2 komentar

  1. gan, untuk explore wae rebo.butuh berapa hari?

    BalasHapus
    Balasan
    1. tergantung startnya dari mana bang. anggap saja berangkat dari labuan bajo berarti butuh waktu 2 hari untuk ke waerebo saja. misal kamu berangkat jam 6 pagi dari bajo ke desa denge, kamu kemungkinan sampe jam 12 siang. lalu treking sekitar 3 jam ke waerebo sampe sekitar jam 3 sorean. saran saya nginep aja satu malam di sana supaya bisa istirahat dan merasakan pengalaman tidur di waerebo. besoknya baru deh balik lagi ke labuan bajo.

      Hapus