Jatuh Cinta Dengan Rinjani (Part 2 : Perjuangan Menggapai Puncak Rinjani)

by - 1/11/2021 12:23:00 PM

perjalanan summit di gunung rinjani

Langkah kaki kembali menyisiri jalan yang tadi dilewati. Trek pasir dan bebatuan kerikil yang panjang membuatku beberapa kali berhenti. Sesekali berhenti bukan karena lelah, melainkan memandang penuh takjub  view samudera awan. Pemandangan Gunung Barujari juga sedang terlihat jelas dan terhindar dari kabut.

Perjalanan berjam-jam menuju puncak akhirnya menemui ujungnya. Sejenak tubuh kurus ini direbahkan, lalu mataku melihat ke langitan.  9.31 WITA tiba di Puncak Gunung Rinjani 3726 MDPL. Terima kasih Tuhan.

Beristirahat di Camp Area Plawangan Sembalun

menikmati sunset di tenda
Bang Chan, Bang Ayom, dan pemandangan sunset

29 Desember 2020 Pukul tujuh Malam. Langit perlahan menjadi temaram, euforia melihat pemandangan sunset pun berakhir.  Ada beberapa titik tempat mendirikan tenda di Plawangan Sembalun yang diberi nama Plawangan 1, Plawangan 2, dan Plawangan 3. Tenda rombongan penulis ada di Plawangan 1.

"Satu tenda isinya berempat ya" Perintah Guide ketika proses pembagian tenda untuk para peserta Open Trip. "Bang, Kita masih bertiga nih, gabung ke kita aja" Tawaran Dari Bang Chan, Bang Ayom, dan Bagus kepada penulis yang langsung diiyakan. 

Matras pun digelar sebagai alas, lalu tas carrier disusun rapi di dalam tenda. Setelah itu Nesting atau Peralatan masak dikeluarkan, yang pertama kali dibuat adalah teh dan susu hangat. Makan malam yang dijanjikan masuk ke dalam paket Open Trip tidak kunjung datang. Padahal penulis dan peserta lainnya sudah merasa lapar. Akhirnya untuk mengganjal perut, Penulis memakan roti sobek. Lalu membuat makanan yang cepat matang alias instan (udah tau lah ya apa).

Pukul sembilan malam barulah makan malam dibagikan ke masing-masing peserta di dalam tenda (molor banget), dengan menu ayam dan sosis goreng. Hal lain yang membuat kecewa adalah nasinya masih keras -,- berasa makan nasi setengah matang :(. Setelah selesai makan malam ,  Penulis pun bergegas tidur untuk persiapan Summit dini hari.

Ketika di Persimpangan Jalan 

suasana fajar di plawangan sembalun
suasana fajar di plawangan

30 Desember 2020 , Sekitar pukul 01.30 WITA. Penulis terbangun setelah mendengar langkah-langkah kaki di luar tenda, pendaki lain mulai berangkat untuk summit. Penulis lantas menyiapkan perlengkapan, membawa barang-barang yang dianggap penting saja, seperti Air minum, roti / bekal sarapan, headlamp, dan mantel hujan. Semuanya dimasukkan ke dalam drybag yang berukuran 8 liter.

Selang beberapa menit kemudian, Bagus terbangun dan bersiap-siap juga untuk summit. Sedangkan Bang Chan dan Bang Ayom memutuskan untuk Summit keesokan harinya tanggal 31. Penulis dan Bagus pun keluar tenda, lalu bergabung dengan peserta Open Trip lainnya. 

Rombongan penulis saat itu berjumlah 14 orang yang berangkat summit, diantaranya ada dua orang perempuan. Setelah memanjatkan do'a, Kami pun berjalan beriringan melewati tenda-tenda di Plawangan, Melewati menara pemancar, dan Melewati persimpangan jalan menuju Mata Air.

Trek mulai menanjak dan berpasir, bahkan ada yang diberikan pegangan tali untuk mempermudah pendaki lewat. Satu jam perjalanan, Bagus mulai merasakan gelagat yang tidak biasa. Dirinya merasa mual dan meminta istirahat sebentar. Kami pun harap-harap cemas, Bang Ojan memberikannya air minum hangat dan sebungkus roti untuk mengantisipasi terjadi kram perut.

Perjalanan pun kembali dilanjutkan, tetapi tidak begitu lama Bagus kembali berhenti dan dirinya terlihat begitu lemas. 

  • "Saya masih kuat jalan bang, ini mau istirahat sebentar nanti lanjut lagi" Ujar Bagus. 
  • "Jangan Gus, ini Kita belum nyampe setengahnya. Mending lo balik ke tenda aja" Usul penulis. 
  • "Masih kuat kok bang, yok jalan lagi" Bagus kembali meyakinkan. 
  • "Jangan Maksa Bro !, Lo kan bisa nyoba besok lagi" Penulis kembali memaksa Bagus untuk kembali.

Akhirnya Bagus mengalah. Khawatir kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, penulis pun mengantarnya kembali sampai persimpangan jalur mata air. Setidaknya sudah cukup aman ditinggalkan sendirian karena jalurnya tidak banyak cabang dan landai. Cahaya tenda pun sudah terlihat, Bagus kembali ke tenda sedangkan Penulis berada di persimpangan pilihan antara ikut ke tenda atau kembali berjuang untuk summit.

Cuaca sedang bagus-bagusnya, meskipun terkadang tidak menentu atau cepat berubah. Dari segi fisik masih mumpuni untuk kembali summit. Dengan asumsi perjalanan selama 6 jam menuju puncak, Penulis akan tiba kurang lebih jam 10 pagi jika berangkat sekarang.

Bismillah, semoga diberikan kekuatan untuk melanjutkan perjalanan. Penulis pun kembali naik ke atas sekitar pukul 04.00 WITA, menyisir jalur yang tadi dilewati. Dari bawah terlihat cahaya-cahaya headlamp atau senter pendaki-pendaki yang sedang berjuang mencapai puncak, terlihat seperti titik-titik cahaya di antara gelapnya punggung gunung.

Penulis sudah jauh tertinggal dengan rombongan Open Trip T*ball*w yang tadi berangkat bersama, sangat tidak mungkin tersusul. Tetapi masih ada rombongan pendaki lain jadinya tidak khawatir tersesat. Penulis juga berpapasan dengan Pendaki yang juga turun kembali menuju tenda, mungkin karena alasan yang sama seperti Bagus. 

Melihat Sunrise sebelum Sampai Puncak 

sunrise di gunung rinjani
Sunrise di Gunung Rinjani

Langit mulai cerah membiru, di sebelah timur semburat warna jingga terlihat dengan lautan awan yang menghampar luas. Sepanjang jalur masih tumbuh vetegasi berupa bunga-bunga edelweiss, rerumputan, dan pohon-pohon berukuran pendek.

Sekitar Jam 6.00 WITA, Penulis berjumpa dengan Meita. Salah satu perempuan yang tadi berangkat bersama dari bawah. "Tadi Gue jalan bareng sama yang lain, tapi Gue minta mereka jalan duluan. Karena kalo bareng Gue lama"  Ujar Meita. 

Penulis pernah beberapa kali membaca blog atau mendengar cerita orang, memang kalau Summit tidak harus berjalan menunggu satu sama lain, tergantung porsi kemampuan asalkan masih kuat. Beda cerita dengan Bagus yang memang dari fisik belum siap untuk Summit pada hari ini.

  • "Lo kalau mau duluan, lanjut aja. Gw Lama jalannya" Meita mempersilahkan Penulis untuk duluan. 
  • "Gue udah mulai capek juga Mei, bareng aja kita" Ujar penulis. 

trek summit rinjani
Meita yang paling depan

Jadilah kami berjalan beriringan, sekarang Penulis tidak perlu bingung kalau mau foto-foto selfie, sudah ada Meita :D. Kami sering berhenti untuk memotret keindahan pemandangan yang ada. Meski tidak begitu jelas, bayangan berbentuk seperti Piramid terlihat di tengah-tengah samudera awan.

samudera awan di rinjani
Samudera Awan dan bayangan berbentuk Piramid

Tidak Akan Lupa dengan Keindahan Rinjani

  • P : "Mei, Lo ngajar di SD mana?"  
  • M : "Ehhh tau darimana kalau Gue guru?"
  • P : "Kan pernah cerita pas di Pikup kemarin -,-"
  • M : "Oh hahaha, Gue tuh orangnya Pelupa. Nama orang juga sering lupa, nama murid juga gak ingat satu per satu"
  • P : "Tapi Guru biasanya ingat minimal sama dua orang murid"
  • M: "Iya bener-bener, Nama murid yang paling pinter sama murid yang paling bandel" 
  • P: "Kalau sama Rinjani gak bakal lupa kan?"
  • M: "Bener, keren banget sih view di sini"

Supaya tidak terlalu hening selama perjalanan, penulis mengobrol dengan Meita yang sama-sama pemula di Dunia Pendakian. Tidak lama berselang Kami bertemu dengan Bang Yudha, salah satu teman yang berangkat bersama dengan rombongan pada dini hari.

jalur pendakian summit rinjani
Jalur Letter-E

Sudah pukul delapan Pagi, suhu udara sudah terasa lebih hangat. Penulis akhirnya memutuskan untuk jalan duluan meninggalkan Meita dan Bang Yudha.  Sudah terlihat jalur yang diberi nama Tanjakan Letter-E (jalur berbentuk seperti huruf E). Vegetasi pun sudah tidak ada lagi di sepanjang jalur.

Trek batu-batu kerikil yang berpasir menjadi tantangan selanjutnya, menanjak terus hingga puncak. Penulis ingat dengan perkataan Bang Iyar ketika di bukit penyesalan sehari sebelumnya "Jalur saat summit lebih berat dibanding dengan bukit penyesalan" karena mental benar-benar diuji ketika kaki berjalan dua langkah dipaksa mundur satu langkah.  

Sepatu gunung Penulis pun memperburuk keadaan. Sol depannya rusak , menganga seperti mulut yang sedang memakan pasir dan kerikil. Lelah sekali, entah bagaimana menuliskan rasa lelah yang sangat terasa itu. Mengikis mental, sadis sekali jalurnya. Tetapi Penulis belum sampai pada fase kelelahan akut, masih bisa melanjutkan perjalanan meski sering berhenti.

keindahan gunung barujari
Gunung Barujari

Memotret lanskap mungkin adalah hiburan penulis saat langkah kaki meminta rehat. Gunung Barujari terlihat dengan cukup jelas dan terhindar dari kabut. Beberapa pendaki mulai turun kembali setelah menggapai puncak, menyemangati Penulis "Ayo mas dikit lagi", "Semangat mas", "Bentar lagi nyampe Mas". Penulis tersenyum simpul, menjawab singkat "Iya makasih".

puncak gunung rinjani

Pukul 9.31 WIB, Penulis tiba di Puncak Gunung Rinjani. Penulis merebahkan badan sejenak, menghela nafas panjang akhirnya sampai juga di Puncak Gunung Rinjani. Lalu penulis bergabung dengan pendaki lain yang sedang terlihat bahagia karena sudah di puncak.

puncak gunung rinjani
Akhirnya sampai di Puncak

Di sana sudah banyak para pendaki lain yang sampai duluan, termasuk rombongan Penulis yang tadi berangkat bersama-sama. Puncak Rinjani tidak terlalu luas. Karena terlalu ramai, untuk mendapatkan foto dengan latar Gunung Barujari harus antri ketika di puncak. Penulis juga harus antri untuk berfoto dengan properti papan tulisan Gunung Rinjani beserta keterangan ketinggiannya. Penulis hanya sekitar 30 menit saja berada di puncak, karena panas matahari mulai terik Penulis memilih untuk kembali turun.  

Bertemu dengan keluarga baru

Perjalanan turun menuju Plawangan juga berat, meski tidak seberat ketika akan naik menuju puncak. Beberapa kali Penulis berhenti untuk membersihkan sepatu dari bebatuan kerikil yang masuk. Air minum pun mulai menipis, Penulis mulanya ragu untuk meminta ke teman yang lain. Tetapi karena perjalanan menuju tenda masih lama akhirnya mulut itu berucap juga kepada Bang Amir dkk.

  • "Bang, mohon maaf sebelumnya. Masih banyak persedian air gak? Saya boleh minta kalau masih ada" 
  • "Oh ada-ada" Bang Amir lantas mengeluarkan botol-botol yang ada di dalam tasnya, terlihat sudah ada dua yang kosong tetapi masih ada sisa satu botol ukuran 1.500 ml yang masih terisi penuh.
  • "ini gakpapa saya minta?" Penulis ragu karena air tersebut tentunya untuk persedian mereka berlima. 
  • "Gakpapa, masukin aja ke botolmu. Punya kita cukuplah" Bang Amir meyakinkan.

Penulis mengeluarkan botol air berukuran 600 ml, lalu mengisinya sampai setengah saja. 

  • "Segitu cukup?" Bang Amir bertanya.
  • "Ini udah sangat cukup untuk sampai ke tenda, terima kasih banyak ya bang" Penulis tersenyum sopan.

jalur berpasir dan batu kerikil di rinjani

Ketika turun penulis berpapasan dengan pendaki lain yang masih berjuang untuk sampai di puncak, Termasuk Meita, Bang Yudha, Pak Ipul, dan Ibadi. Luar biasa semangat mereka, tidak menyerah dan terus melangkah.

Setelah melewati jalur Letter-E, Hujan perlahan turun. Dengan cepat mantel pun dikeluarkan dari dalam tas dan segera dipakai. Kali ini langkah kaki agak lebih cepat dan jarang berhenti, karena buru-buru untuk sampai di tenda. Hujan terus turun bahkan ketika Penulis tiba di tenda sekitar pukul dua siang.

Penulis kembali bertemu dengan Bang Chan, Bang Ayom, dan Bagus. Nampak Bagus sudah terlihat sehat kembali, dan bertanya-tanya bagaimana perjalanan menuju puncak tadi. Penulis mengganti pakaian yang sudah lembab dengan pakaian kering, lalu melumuri perut dan leher dengan minyak kayu putih. 

Sungguh penulis sangat berterima kasih kepada teman-teman dari Lampung ini, termasuk Mba Rani dan Catherine. Ternyata mereka sudah menyiapkan makan siang untuk penulis. Lalu Bang Ayom membuatkan teh hangat untuk Penulis yang memang terlihat lemas dan agak menggigil kedinginan. Tidak hanya itu, Bang Ayom dan Bagus dengan baiknya mengkeroki badan penulis.

Waktu bergerak terasa cepat menuju sore hari, Plawangan diselimuti kabut dan bekas air hujan masih tersisa di ujung daun. Sunset yang indah seperti hari sebelumnya terhalang kabut. Kali ini makan malam dibagikan lebih cepat, nasinya juga masak dengan sempurna. Penulis tidur lebih cepat, tidur nyenyak dalam sleeping bag. Baru terbangun sekitar pukul satu dini hari ketika mendengar suara Bang Chan dan Bagus yang sedang bersiap untuk summit.

Percobaan summit kedua bagi Bagus, sepertinya kali ini Dia lebih siap secara fisik. Sedangkan Bang Ayom masih tetap di tenda karena memang dirinya tidak berniat untuk berangkat summit. Penulis salut dengan Abang yang satu ini, "Mengayomi" sesuai dengan nama panggilannya. Abang dengan nama lengkap Al-Muharrom ini sangat baik, memasakkan sarapan dan membuatkan teh hangat disaat Penulis memotret suasana pagi di Plawangan tanggal 31 Desember 2020 

 

memasak nasi di rinjani

Perjalanan berjam-jam yang penuh esensi. Aku melawan sifat ego dan tak acuh, mengikhlaskan waktu yang menguap untuk kembali. Aku berlatih dengan kesabaran, merunduki langkah-langkah kecil yang dilakukan secara terus-menerus. 

Ada benarnya orang-orang yang bilang tentang Gunung yang mengajarkan banyak hal. Sifat pantang menyerah dan sifat saling peduli

"Aku mendaki gunung agar bisa melihat dunia ini terbentang luas, bukan sebaliknya agar orang-orang melihatku" - Quote dari Tere Liye

- Kembali dengan membawa kenangan  - Bersambung...



You May Also Like

0 komentar