2024 Menceritakan Sang Pencerita Andai-andai Terbaik Kami

by - 1/21/2024 05:27:00 PM

ulu-tulung

Dua hari sebelum tes SIMAK UI, kabar menyesakkan itu datang. Suara serak bapak memberi kabar lewat sambungan telepon. "Nek Anang lah laju (dalam bahasa kampung artinya kakek sudah meninggal). Kamu tidak usah memaksakan pulang, lebih baik fokus di ujianmu". Saya terdiam, bingung hendak melakukan apa, namun tanpa disuruh, air mata membasahi wajah. 

Dalam situasi ini, pikiran saya berkicamuk. Wajahnya yang meneduhkan itu terbayang, senyumnya yang khas, dan cerita-cerita hebatnya yang menemani masa kecil kami. Saya sudah satu bulan tinggal di Palembang untuk keperluan mengikuti serangkaian tes masuk perguruan tinggi, menginap di rumah wawak (kakak mamak). Sebelum berangkat saya sempat pamit ke nek anang, dirinya sudah terbaring lemah, sudah tidak bisa merespon pembicaraan. 

Di usianya yang senja, daya ingat beliau mulai terkikis. Nama-nama cucu-cicitnya sudah banyak yang terlupa, yang membuat saya semakin terisak tangis (termasuk saat menulis ini) adalah nama saya masih diingat di tahun-tahun terakhir beliau hidup di dunia. Apakah saya harus kembali? Waktu tempuh kembali ke kampung halaman itu sekitar tujuh jam (waktu itu masih banyak titik macet, rangkaian truk batubara masih sering berlalu lalang, belum ada tol). Namun itu berarti saya harus melewatkan ujian SIMAK UI, seleksi kampus yang saya idam-idamkan. 

Saya masih ingat kalimat wawak waktu itu "Wawak tidak melarangmu untuk kembali ke kampung, namun wawak juga tidak menyuruhmu untuk kembali ke kampung" Itu artinya semua keputusan dikembalikan ke saya. Remaja 17 tahun yang masih polos dan naif.

Tentang Pencerita Andai-andai

"Kalian mau diceritakan andai-andai apa malam ini?" ujar nek anang. "Cerita yang lebih seru dibandingkan dengan cerita semalam nang" kata kami. "Hemm baiklah" jawab nek anang singkat, beliau memperbaiki posisi duduknya, menyender di dinding rumah yang terbuat dari papan. "Kalau begitu ada syaratnya, kalian pijitin kaki nek anang, masih pegal setelah menebasi ilalang di kebun tadi siang". 

Dengan cepat, Kami mengambil posisi duduk di sebelah nek anang. Ayuk bertugas memijit kaki sebelah kanan, lantas saya memijit kaki sebelah kiri. Nek Anang memulai cerita.

"Suatu pagi di hutan larangan, kabut masih berayak, jalan setapak masih lembab sisa hujan semalam, pohon-pohon tinggi menari-nari karena rombongan siamang yang berjuntaian ke sana kemari. Tinggallah seekor siamang bisu di sebuah pohon besar" Nek anang terdiam dan tidak melanjutkan ceritanya, kami yang sudah mulai memijit protes mengapa beliau berhenti bercerita. "nek mengapa berhenti, ayo lanjutkan ceritanya"

"Namanya juga siamang bisu, dia tidak bisa bicara". kami lantas memukul pelan nek anang, lalu mengadu kepada mamak yang dari tadi sibuk menganyam. "hei-hei baiklah, kalian sih kurang kuat mijitnya, tidak seperti mamak ketika seusia kalian, pijitan mamak kalian jauh lebih enak". Kami kembali memijit kaki beliau lebih keras. 

"Meski siamang itu bisu namun tidak sama sekali mengurangi semangat hidupnya di hutan itu. Bahkan Dia sangat dikagumi oleh kawanan siamang lain, termasuk penghuni hutan lain seperti harimau si raja hutan, kijang, ular, dan sebagainya. Namun sayangnya rasa kagum itu timbul ketika siamang bisu itu mati".

"Setiap makhluk yang diciptakan tuhan di muka bumi ini mempunyai manfaat bagi alam dan sekitarnya, di suatu malam ketika penghuni hutan lain nyenyak tertidur, siamang bisu masih sibuk mencari pisang. Di tengah jalan, ia menyadari ada sekolompok manusia jahat yang hendak membakar hutan. Siamang langsung bergegas mengabari teman-teman penghuni hutan yang lain. Karena dirinya bisu, ia berjuntaian ke pohon, membuat dahan-dahan bergerak, menimbulkan suara yang bising"

"Hewan-hewan di hutan terbangun dari tidurnya yang lelap. Siamang bisu berusaha untuk menjelaskan dengan mengerak-gerakkan tangannya, mencoba menunjukkan sesuatu. Namun teman-temannya tidak ada yang mengerti apa yang ia maksud, tidak peduli. Mereka justru kesal dengan siamang bisu yang menimbulkan kegaduhan, Siamang bisu malah diusir. Dirinya menangis dan menghadapi manusia jahat itu sendirian." Nek anang menghela nafas, lalu meminum kopi hitam kesukaannya.

"Terus bagaimana nasib siamang bisu nek? kasian sekali padahal dirinya bermaksud baik" ayuk tak sabaran menunggu lanjutan ceritanya.

"Kau ini persis sekali dengan mamakmu, tak sabaran." nek anang tertawa terbahak.

Nek anang kembali memasang wajah yang sedih "Siamang bisu mati dibunuh oleh manusia jahat. Malam itu hutan merah membara, api dengan cepat menyambar pohon-pohon yang rapat. Teman-teman siamang bisu tak sempat melarikan diri, hanya sedikit yang selamat. Semenjak saat itu mereka menghormati hewan-hewan yang mempunyai kekurangan, mereka menyesal tidak percaya dengan peringatan yang diberikan oleh siamang bisu yang malang "

Cerita-cerita hebat itu dari mana?

Ketika pulang ke kampung beberapa waktu yang lalu saya bertanya kepada mamak. "Dari mana almarhum nek anang mendapatkan cerita andai-andai yang hebat itu. Bahkan saya pernah membaca salah satu cerita di majalah anak-anak yang ceritanya persis dengan apa yang saya dengar dari beliau?."

"Dari cerita turun-temurun, mungkin buyutmu dulu juga pencerita yang sama bagusnya dengan nek anang. Selain itu almarhum juga suka berpetualang, mendengar cerita dari orang yang ia temui, melihat kehidupan." Jawab mamak.

Saya meminta mamak menceritakan andai-andai lagi, sesuatu yang sudah jarang dilakukan di rumah.

Penutup

Mengapa saya memakai foto genangan air di atas sebagai ilustrasi? itu bukanlah genangan air biasa melainkan "ulu tulung" dalam istilah kampung artinya sumber mata air yang mengalir ke sungai. Ulu tulung banyak ditemui di hutan-hutan tropis yang memiliki sungai-sungai kecil. Dalam petuah kampung, kita tidak boleh mengotori air ini apalagi menimbunnya. Ada pamali yang dipercaya kalau merusak ulu tulung membuat hasil kebun tidak bagus. 

Tahun 90 an, pernah terjadi kebakaran hebat di hutan dekat kampung. Banyak kebun-kebun warga yang terimbas karena ulah manusia yang tidak bertanggungjawab ketika membuka lahan. Waktu itu musim kemarau, air sungai menjadi kecil. Konon ceritanya ulu tulung ini sangat bermanfaat waktu itu, ulu tulung tetap mengalir, warga yang kehausan karena berjibaku memadamkan api bisa meminum air ulu tulung yang tetap mengalir.

You May Also Like

0 komentar